Aqiqah Setelah Dewasa, Bolehkah?


Para ulama berselisih pendapat tentang ini menjadi dua pendapat:

Pertama: Tidak disyari’atkan, karena aqiqah khusus ketika masih bayi. Alasan mereka karena aqiqah ketika dewasa tidak dikenal dari para sahabat. Inilah pendapat Malikiyyah.

Kedua: Disyari’atkan aqiqah bagi orang dewasa yang belum aqiqah. Inilah madzhab Syafi’iyyah dan sebagian Hanabilah.

Pendapat kedua lebih kuat. Alasannya ialah sebagai berikut:

1. Keumuman dalil yang menunjukkan bahwa bayi tergadai dengan aqiqahnya, maka selagi dia masih tergadai hendaknya kita segera membebaskannya sekalipun sudah dewasa.

2. Telah sah hal ini dari perbuatan Nabi.

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ مَا بُعِثَ بِالنُّبُوَّةِ

Dari Anas bin Malik, bahwasanya Nabi mengaqiqahi dirinya setelah diutus dengan kenabian. (HR. Ath-Thahawi dalam al-Musykil 1/461 dan Thabrani dalam al-Ausath 1/529 dengan sanad hasan. Dan jalur riwayat ini bersih dari rawi Abdullah bin Muharrar yang dilemahkan oleh ulama yang melemahkan hadits ini. Lihat Silsilah al-Ahādīts ash-Shahīhah: 2726.)

3. Hal ini ditegaskan oleh sebagian ulama tabi’in. Ibnu Sirin berkata, “Seandainya saya tahu kalau saya belum diaqiqahi, niscaya saya akan mengaqiqahi untuk diriku.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 8/235 dan dishahihkan al-Albani dalam ash-Shahīhah 6/506).
Hasan al-Bashri berkata, “Kalau engkau belum diaqiqahi, maka aqiqahilah dirimu sendiri sekalipun sudah dewasa.” (Ibnu Hazm dalam al-Muhalla 8/322 dan dihasankan al-Albani dalam ash-Shahīhah 6/506).

Pendapat yang mensyari’atkan aqiqah bagi orang dewasa ini juga dikuatkan oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 2726 dan Syaikh Ibnu Baz, kata beliau setelah memaparkan perselisihan ulama tentang masalah ini:

“Pendapat yang benar adalah pendapat pertama (sunnahnya aqiqah bagi dewasa) karena aqiqah adalah bentuk taqarrub kepada Allah dan berbuat baik kepada sang bayi serta membebaskannya dari pergadaian sehingga hal itu disyari’atkan bagi dirinya sendiri, orang tuanya, atau keluarganya.” (At-Tuhfatul Karīmah hlm. 89)

✍️Ust Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi
Previous
Next Post »
Thanks for your comment